Opini

Sepak Bola Memakan Korban 131 Nyawa

OPINI,deltamahakam.co.id-Hidup banyak definisi nya. Masing-masing orang. Punya definisi yang beragam. Lewat banyak jalur pencerahan. Salah satu definisi hidup adalah proses mendapatkan dan kehilangan sesuatu.

Apapun aspek hidup. Dari soal sekolah, Asmara, Karier,Politik, Rumah tangga, Bisnis,Olahraga,dan tak terkecuali, bola. Diwarnai dua hal, yakni Mendapatkan dan Kehilangan.

Dan semuanya, sudah ada ilmunya. Akan sangat mudah, di jalani, bila kita tahu dan memahami ilmunya. Ilmu mendapatkan. Tak perlu di bahas. Semua orang, mudah menerima, bila mendapatkan, terutama yang di inginkan.

Tapi kehilangan. Banyak orang, masih bermasalah, ketika mengalami, kehilangan. Terutama yang dimiliki atau yang di harapkan.

Pun begitu. Dengan Aremania dan Aremanita. Dengan harapan. Kebanggaan. Kecintaan. Setinggi langit untuk menang.

Kenyataan nya. Di kandang sendiri, kalah. Itu menyakitkan. Lebih menyakitkan nya, kalah dari Persebaya. Rivalitas abadi nya.

Pasti semua suporter. Menolak kenyataan itu. Karena begitulah ilmunya. Bahwa siapapun yang kehilangan, respon awalnya adalah menolak. Selanjutnya adalah marah. Bila berlalu, akan mengalami proses tawar menawar yaitu antara masih marah, atau lanjut depresi (sedih), tahap akhirnya adalah menerima.

Respon tiap orang, tak sama. Ada yang hitungan detik, menit, atau tahunan baru bisa menerima kehilangan nya. Orang orang di RS Jiwa kebanyakan bertahun tahun, belum juga pada tahap menerima.

Pengalaman saya. Saat kalah pilkada, Alhamdulillah, dalam hitungan menit. Saya menerima kehilangan harapan dan jabatan. Tuhan telah melatih saya, hampir kehilangan nyawa. Saat 42 hari dirawat karena Covid.

Tapi tidak semua, 40.000 an Aremania, punya pengalaman seperti itu. Ribuan pula yang dalam tahap menolak kenyataan, dan tahap marah secara akut. Ini perlu pendekatan khusus.

Bahwa mereka. Suporter, terjun ke lapangan. Saat permainan sudah selesai. Adalah bagian dari penyaluran. Penolakan kenyataan dan marah. Serta pelampiasan kesedihan. Itu alamiah. Sangat mudah, di prediksi, kejadian kejadian itu sebelum terjadi. Bahkan sebelum, pertandingan di mulai.

Maka, para official. Security officer, dan pihak keamanan. Punya, tiga pilihan pendekatan. Yaitu pendekatan otoritas, security atau pendekatan psikologi.

Pendekatan otoritas. Mutlak bila penyerbuan kelapangan adalah saat pertandingan. Otoritas mutlak ada di wasit dan official. Keamanan dengan komando official, perlu mengusir suporter. Untuk tujuan pertandingan.

Bila, permainan sudah selesai. Lapangan adalah sekedar lapangan. Benda mati. Tidak ada bedanya dengan tribun atau jalanan luar stadion. Maka, tidak ada urgenitas untuk mengusir mereka.

Pendekatan keamanan. Kepentingan utamanya adalah mengamankan official, pemain lawan dan Arema. Bila hal ini, sudah aman. Tidak ada hal yang di anggap membahayakan lagi.

Pendekatan yang utama, untuk suporter adalah pendekatan empati. Biarkan saja supporter melampiaskan. Sesak dada nya. Sepanjang official dan pemain sudah aman.

Itu adalah teori. Praktek nya. Pendekatan yang di pakai adalah keamanan dan otoritas. Bukan otoritas official. Tapi otoritas aparat hukum. Polisi organik, TNI dan Brimob bergerak. Brimob tampak agresif di lapangan. Mengusir suporter dengan kekerasan. Kekerasan itu , didepan penonton, yang belum beranjak. Karena memang masih sedih. Dan memang, pintu stadion belum di buka semua. Alasannya, agar pemain Persebaya di evakuasi dulu.

Kekerasan akan di hadapi dengan kekerasan. Aparat yang agresif, di lawan dengan suporter makin agresif dan makin banyak. Termasuk serangan “kembang api” dari berbagai arah. Tak terkecuali tribun.

Maka gas air mata, jadi senjata andalan menyerang balik suporter. Suporter di lapangan di tembak dengan gas air mata. Pun begitu suporter yang di tribun. Di tribun, puluhan ribu suporter, baik dewasa, wanita, anak anak, yang kalem, yang agresif. Bernasib sama. Pedih hatinya, pedih mata nya, sesak nafasnya.

Puluhan ribu suporter itu, pikirannya sama. Serentak ingin cari selamat, mau ke lapangan di hajar aparat. Maka semua cari pintu. Dan pintu terdekat belum di buka. Maka, yang terjadi adalah tragedi. Pandangan kabur, sesak, pedih, tidak tahu arah, terinjak injak. Sehingga banyak nyawa melayang. Seperti nelayan bikin pindang ikan. Bertumpuk tumpuk tubuh, tanpa nyawa.

Tentu ada yang lolos keluar dan yang di luar bisa lihat apa yang terjadi di pintu stadion. Sedih, marah, dendam berkecamuk. Polisi yang berjaga di luar, jadi sasaran. Motor, mobil polisi, truk brimob jadi sasaran. Balas pantun kekerasan ini terjadi lagi. Diluar stadion.

Tragedi itu menelan 131 nyawa, dan ratusan yang terluka. Tragedi yang terjadi, karena salah therapy. Salah pendekatan. Salah pemahaman. Ketika masalah psikologi di lakukan pendekatan dengan otoriti dan pendekatan securiti.

Atas nama SOP Polisi, SOP Brimob. Namun mereka lupa ada SOP PSSI. Yang seharusnya berdasarkan SOP FIFA. Tidak boleh senjata api dan gas air mata di gunakan di stadion. Ironinya, tahun 2019, pejabat mabes POLRI. Yang melakukan supervisi, pengamanan Arema vs persebaya. Sudah menekankan dan menyadari. Bahwa jangan gunakan gas mata, karena hal itu makin memancing emosi dan agresifitas para suporter.

Kapolres, seminggu sebelumnya. Nampak telah memberikan breafing. Tolong jangan lakukan kekerasan yang bersifat agresif, apapun dinamika yang terjadi. Tolong jangan ada yang bawa senjata api. Baik bintara senior atau perwira. Amankan dulu senjata apinya.

Namun, kenyataan, tidak seindah teori. Dan tragedi telah terjadi. Yang mutlak, ini harus jadi pelajaran, untuk mawas diri. Bagi PSSI, Aremania, TNI, polisi, terutama Brimob. Dan semua insan sepak bola seluruh
Tragedi salah “obat” ini, salah pendekatan ini. Jangan sampai terjadi lagi. Dan tentunya, perlu pertanggungjawaban. Bukan cuma sekedar sangsi sangsi dari PSSI.

Oleh : Uce Prasetyo

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button